Hidup Sehat

Arti Hidup Sehat menurut Islam

Pakar bahasa Al-Quran dapat memahami dari ungkapan sehat wal-afiat bahwa kata sehat berbeda dengan kata afiat, karena wa yang berarti "dan" adalah kata penghubung yang sekaligus menunjukkan adanya perbedaan antara yang disebut pertama (sehat) dan yang disebut kedua (afiat). Nah, atas dasar itu, dipahami adanya perbedaan makna di antara keduanya.

Dalam literatur keagamaan, bahkan dalam hadis-hadis Nabi Saw.ditemukan sekian banyak doa, yang mengandung permohonan afiat, di samping permohonan memperoleh sehat.
Dalam kamus bahasa Arab, kata afiat diartikan sebagai perlindungan Allah untuk hamba-Nya dari segala macam bencana dan tipu daya. Perlindungan itu tentunya tidak dapat diperoleh secara sempurna kecuali bagi mereka yang mengindahkan petunjuk-petunjuk-Nya. Maka kata afiat dapat diartikan sebagai berfungsinya anggota tubuh manusia sesuai dengan tujuan penciptaannya.

mengalihkan pandangan dari objek-objek yang terlarang, karenaKalau sehat diartikan sebagai keadaan baik bagi segenap anggota badan, maka agaknya dapat dikatakan bahwa mata yang sehat adalah mata yang dapat melihat maupun membaca tanpa menggunakan kacamata. Tetapi, mata yang afiat adalah yangdapat melihat dan membaca objek-objek yang bermanfaat serta itulah fungsi yang diharapkan dari penciptaan mata.

KESEHATAN FISIK

Telah disinggung bahwa dalam tinjauan ilmu kesehatan dikenal berbagai jenis kesehatan, yang diakui pula oleh pakar-pakar Islam.

Majelis Ulama Indonesia (MUI), misalnya, dalam MusyawarahNasional Ulama tahun 1983 merumuskan kesehatan sebagai "ketahanan jasmaniah, ruhaniah, dan sosial yang dimiliki manusia, sebagai karunia Allah yang wajib disyukuri dengan mengamalkan (tuntunan-Nya), dan memelihara serta mengembangkannya."

Memang banyak sekali tuntunan agama yang merujuk kepada ketiga jenis kesehatan itu.

Dalam konteks kesehatan fisik, misalnya ditemukan sabda Nabi Muhammad Saw.: Sesungguhnya badanmu mempunyai hak atas dirimu.

Demikian Nabi Saw. menegur beberapa sahabatnya yang bermaksud melampaui batas beribadah, sehingga kebutuhan jasmaniahnya terabaikan dan kesehatannya terganggu.

Pembicaraan literatur keagamaan tentang kesehatan fisik, dimulai dengan meletakkan prinsip:

Pencegahan lebih baik daripada pengobatan.

Karena itu dalam konteks kesehatan ditemukan sekian banyak petunjuk Kitab Suci dan Sunah Nabi Saw. yang pada dasarnya mengarah pada upaya pencegahan.

Salah satu sifat manusia yang secara tegas dicintai Allah adalah orang yang menjaga kebersihan. Kebersihan digandengkan dengan taubat dalam surat Al-Baqarah (2): 222:

Sesungguhnya Allah senang kepada orang yang bertobat, dan senang kepada orang yang membersihkan diri.

Tobat menghasilkan kesehatan mental, sedangkan kebersihan lahiriah menghasilkan kesehatan fisik.

Wahyu kedua (atau ketiga) yang diterima Nabi Muhammad Saw. adalah:

Dan bersihkan pakaianmu dan tinggalkan segala macam kekotoran (QS Al-Muddatstsir [74]: 4-5).
 
Perintah tersebut berbarengan dengan perintah menyampaikan ajaran agama dan membesarkan nama Allah Swt.

Terdapat hadis yang amat populer tentang kebersihan yang berbunyi: 
Kebersihan adalah bagian dari iman.

Hadis ini dinilai oleh sebagian ulama sebagai hadis dha'if. Kendati begitu, terdapat sekian banyak hadis lain yang mendukung makna tersebut, seperti sabda Nabi Saw.:

Iman, terdiri dan tujuh puluh sekian cabang, puncaknya adalah keyakinan bahwa "Tiada Tuhan selain Allah, dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dan jalan" (HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).

Perintah menutup hidangan, mencuci tangan sebelum makan, bersikat gigi, larangan bernafas sambil minum, tidak kencing atau buang air di tempat yang tidak mengalir atau di bawah pohon, adalah contoh-contoh praktis dari sekian banyak tuntunan Islam dalam konteks menjaga kesehatan. Bahkan sebelum dunia mengenal karantina, Nabi Muhammad Saw. telah menetapkan dalam salah satu sabdanya,

Apabila kalian mendengar adanya wabah di suatu daerah, janganlah mengunjungi daerah itu, tetapi apabila kalian berada di daerah itu, janganlah meninggalkannya.
 
Ditemukan juga peringatan bahwa perut merupakan sumber utama penyakit: Al-ma'idat bait adda'. Dan karena itu, ditemukan banyak sekali tuntutan --baik dari Al-Quran maupun hadis Nabi Saw, yang berkaitan dengan makanan, jenis maupun kadarnya.

Al-Quran juga mengingatkan, Makan dan minum dan jangan berlebih-lebihan. Allah tidak senang kepada orang yang berlebih-lebihan (QS Al-A'raf [7]: 31).

Penjabaran peringatan itu dijelaskan oleh Rasulullah Saw. dengan sabdanya,

Tidak ada sesuatu yang dipenuhkan oleh putra putri Adam lebih buruk daripada perut. Cukuplah bagi putra Adam beberapa suap yang dapat menegakkan tubuhnya. Kalaupun harus dipenuhkan, maka sepertiga untuk makanannya, seperti lagi untuk minumannya, dan sepertiga sisanya untuk pernafasannya (Diriwayatkan oleh Al-Tirmidzi).
 
Perlu pula digarisbawahi bahwa sebagian pakar, baik agamawan maupun ilmuwan, berpendapat bahwa jenis makanan dapat mempengaruhi mental manusia. Al-Harali (wafat 1232 M) menyimpulkan hal tersebut setelah membaca firman Allah yang mengharamkan makanan dan minuman tertentu karena makanan dan minuman tersebut rijs.

Kecuali kalau makanan itu bangkai atau darah yang mengalir, atau daging babi, karena sesungguhnya semua
itu kotor (QS Al-An'am [6]: 145).

Kata rijs diartikan sebagai keburukan budi pekerti atau kebobrokan mental. Pendapat serupa dikemukakan antara lain oleh seorang ulama kontemporer Syaikh Taqi Falsaf1 dalam bukunya Child between Heredity and Education, yang mengutip pendapat Alexis Carrel dalam bukunya Man the Unknown. Carrel, peraih hadiah Nobe1 bidang kedokteren ini, menulis bahwa pengaruh campuran kimiawi yang dikandung oleh makanan terhadapaktivitas jiwa dan pikiran manusia belum diketahui secara sempurna, karena belum diadakan eksperimen dalam waktu yang memadai. Namun tidak dapat diragukan bahwa perasaan manusia dipengaruhi oleh kuantitas dan kualitas makanan.

Para ulama sering mengaitkan penyakit dengan siksa Allah. Al-Biqa'i dalam tafsirnya mengenai surah Al-Fatihah mengemukakan sabda Nabi Saw.,

Penyakit adalah cambuk Tuhan di bumi ini, dengannya Dia
mendidik hamba-hamba-Nya.


Pendapat ini didukung oleh kandungan pengertian takwa yang pada dasarnya berarti menghindar dari siksa Allah di dunia dan di akhirat. Siksa Allah di dunia, adalah akibat pelanggaran terhadap hukum-hukum alam. Hukum alam antara lain membuktikanbahwa makanan yang kotor mengakibatkan penyakit. Seorang yang
makan makanan kotor pada hakikatnya melanggar perintah Tuhan, sehingga penyakit merupakan siksa-Nya di dunia yang harusdihindari oleh orang yang bertakwa.

Dari sini dapat dimengerti bahwa Islam memerintahkan agar berobat pada saat ditimpa penyakit.

Berobatlah, karena tiada satu penyakit yang diturunkan Allah, kecuali diturunkan pula obat penangkalnya, selain dari satu penyakit, yaitu ketuaan (HR Abu Daud dan At-Tirmidzi dari sahabat Nabi Usamah bin Syuraik).
 
Bahkan seandainya tidak ada perintah rinci dari hadis tentang keharusan berobat, maka prinsip- prinsip pokok yang diangkat dari Al-Quran dan hadis cukup untuk dijadikan dasar dalam upaya kesehatan dan pengobatan. Sebagai contoh dapat dikemukakan persoalan transplantasi, baik dari donor hidup maupun donor yang telah meninggal dunia. Beberapa prinsip dan kesepakatan dalam bidang hukum agama yang berkaitan dengan topik bahasan ini dapat membantu menemukan pandangan Islam dalam persoalan dimaksud. Prinsip-prinsip dimaksud antara 1ain adalah:

1. Agama Islam bertujuan memelihara agama, jiwa, akal, kesehatan, dan harta benda umat manusia.

2. Anggota badan dan jiwa manusia merupakan milik Allah yang dianugerahkan-Nya untuk dimanfaatkan, bukan untuk disalahgunakan atau diperjualbelikan.

3. Penghormatan dan hak-hak asasi yang dianugerahkan-Nya mencakup seluruh manusia, tanpa membedakan ras atau agama.

4. Terlarang merendahkan derajat manusia, baik yang hidup, maupun yang telah wafat.

5. Jika bertentangan kepentingan antara orang yang hidup dan orang yang telah wafat, maka dahulukanlah
kepentingan orang yang hidup.

Dari prinsip-prinsip ini banyak ulama kontemporer menetapkan bahwa transplantasi dapat dibenarkan selama tidak diperjualbelikan, dan selama kehormatan manusia --yang hidup maupun yang mati-- terjaga sepenuhnya. Salah satu jaminan tidak adanya pelecehan adalah izin dan pihak keluarga.

Alasan penolakan yang sering terdengar dari kalangan orang kebanyakan (awam) bahwa setelah si penerima donor sehat, ia mungkin dapat menyalahqunakan kesehatannya, dan ini dapat mengakibatkan dosa, terutama bagi "pemilik" organ (jenazah), atau orang yang mengizinkan. Alasan ini, pada hakikatnya tidak sepenuhnya dapat diterima. Kemurahan dan keadilan Tuhan mengantar-Nya untuk tidak menuntut pertanggungl.awaban dari seseorang terhadap sesuatu yang tidak dikerjakannya secara sadar, karena hakikat manusia bukan organ dan jasmaninya:

Allah tidak memandang kepada jasad dan rupa kamu, tetapi memandang hati dan perbuatan kamu.

Demikian sabda Nabi Muhammad Saw. yang diriwayatkan oleh Muslim. Di samping itu, izin yang diharuskan itu, telah dapat mengurangi kalau enggan berkata "menghilangkan" kekhawatiran di atas. Kalau niat pemberi izin untuk membantu sesama manusia, dan dia menduga keras bahwa bantuan tersebut tidak akan disalahgunakan, maka kalaupun ternyata dugaannya keliru, maka ia bebas dari dosa. Sebaliknya, jika yang memberi izin sudah menduga keras akan terjadinya penyalahgunaan, maka tentu saja ia tidak terbebaskan dari dosa. Di sini terlihat pula peranan izin.

Dapat ditambahkan bahwa Al-Quran menegaskan bahwa, "Barang siapa yang menghidupkan seseorang, maka dia bagaikan menghidupkan manusia semuanya..." (QS Al-Maidah [5): 32). "Menghidupkan" di sini bukan saja yang berarti "memelihara kehidupan", tetapi juga dapat mencakup upaya "memperpanjang harapan hidup" dengan cara apa pun yang tidak melanggar hukum.

Demikian, satu contoh, bagaimana ayat-ayat Al-Quran dipahami dalam konteks peristiwa paling mutakhir dalam bidang kesehatan.

Namun dalam ajaran Islam juga ditekankan bahwa obat dan upaya hanyalah "sebab", sedangkan penyebab sesungguhnya di balik sebab atau upaya itu adalah Allah Swt., seperti ucapan Nabi Ibrahim a.s. yang diabadikan Al-Quran dalam surat Al-Syu'ara' (26): 80'

Apabila aku sakit, Dialah (Allah) yang menyembuhkan aku.

KESEHATAN MENTAL

Nabi Saw. juga mengisyaratkan bahwa ada keluhan fisik yang terjadi karena gangguan mental. Seseorang datang mengeluhkan penyakit perut yang diderita saudaranya setelah diberi obat berkali-kali, tetapi tidak kunjung sembuh dinyatakan oleh Nabi Saw. bahwa, "Perut saudaramu berbohong" (HR Bukhari).

Al-Quran Al-Karim memang banyak berbicara tentang penyakit jiwa. Mereka yang lemah iman dinilai oleh Al-Quran sebagai orang yang memiliki penyakit di dalam dadanya.

Dari hadis-hadis Nabi diperoleh petunjuk, bahwa sebagian kompleks kejiwaan tercipta pada saat janin masih berada di perut ibu, atau bahkan pada saat hubungan seks (pertemuan sperma dan ovum), demikian juga ketika bayi masih dalam buaian.

Karena itu, Islam memerintahkan kepada para ibu dan bapak agar menciptakan suasana tenang, dan mengamalkan ajaran agama pada saat bayi berada dalam kandungan, sebagaimana memerintahkan kepada para orang-tua untuk memperlakukan anak-anak mereka secara wajar.

Dalam suatu riwayat diungkapkan ada seorang anak yang sedang digendong, kemudian pipis membasahi pakaian Nabi. Ibunya merenggut bayi tersebut dengan kasar. Namun Nabi menegurnya dengan bersabda,

Jangan hentikan pipisnya, jangan renggut dia dengan kasar. Pakaian ini dapat dibersihkan dengan air, tetapi
apa yang dapat menjernihkan hati sang anak (yang engkau renggut dengan kasar)?

Seperti diungkapkan oleh beberapa pakar ilmu jiwa, sebagian kompleks kejiwaan yang diderita orang dewasa, dapat diketahui penyebab utamanya pada perlakuan yang diterimanya sebelum dewasa.

Agaknya kita dapat menyimpulkan bahwa pandangan Islam tentang penyakit-penyakit mental mencakup banyak hal, yang boleh jadi tidak dijangkau oleh pandangan ilmu kesehatan modern.

Dalam Al-Quran tidak kurang sebelas kali disebut istilah fi qulubihim maradh,

Kata qalb atau qulub dipahami dalam dua makna, yaitu akal dan hati. Sedang kata maradh biasa diartikan sebagai penyakit. Secara rinci pakar bahasa Ibnu Faris mendefinisikan kata tersebut sebagai "segala sesuatu yang mengakibatkan manusia melampaui batas keseimbangan/kewajaran dan mengantar kepada terganggunya fisik, mental, bahkan kepada tidak sempurnanya amal seseorang."

Terlampauinya batas kesimbangan tersebut dapat berbentuk gerak ke arah berlebihan, dan dapat pula ke arah kekurangan.

Dari sini dapat dikatakan bahwa Al-Quran memperkenalkan adanya penyakit-penyakit yang menimpa hati dan yang menimpa akal.

Penyakit-penyakit akal yang disebabkan bentuk berlebihan adalah semacam kelicikan, sedangkan yang bentuknya karena kekurangan adalah ketidaktahuan akibat kurangnya pendidikan.
Ketidaktahuan ini dapat bersifat tunggal maupun ganda. Seseorang yang tidak tahu serta tidak menyadari
ketidaktahuannya pada hakikatnya menderita penyakit akal berganda.

Penyakit akal berupa ketidaktahuan mengantarkan penderitanya pada keraguan dan kebimbangan.

Penyakit-penyakit kejiwaan pun beraneka ragam dan bertingkat-tingkat. Sikap angkuh, benci, dendam, fanatisme, loba, dan kikir yang antara lain disebabkan karena bentuk keberlebihan seseorang. Sedangkan rasa takut, cemas, pesimisme, rendah diri dan lain-lain adalah karena kekurangannya.

Yang akan memperoleh keberuntungan di hari kemudian adalah mereka yang terbebas dari penyakit-penyakit tersebut, seperti bunyi firman Allah dalam surat Al-Syu'ara' (26): 88-89:

Pada hari (akhirat) harta dan anak-anak tidak berguna (tetapi yang berguna tiada lain) kecuali yang datang
kepada Allah dengan hati yang sehat.


Islam mendorong manusia agar memiliki kalbu yang sehat dari segala macam penyakit dengan jalan bertobat, dan mendekatkan diri kepada Tuhan, karena:

Sesungguhnya dengan mengingat Allah jiwa akan memperoleh ketenangan (QS Al-Ra'd [13]: 28).

Itulah sebagian tuntunan Al-Quran dan Sunnah Nabi Saw. tentang kesehatan.